Senin, 22 September 2014

Arabisme dan Keindonesiaan

Dalam rubrik “Memoar” majalah Tempo edisi 25-31 Agustus 2014, Ali Audah dianggap sebagai pekerja bahasa yang piawai karena berhasil menerjemahkan buku Arab ke dalam bahasa Indonesia yang baik. Menariknya, betapapun penerjemah ini berketurunan Arab, lelaki kelahiran Bondowoso tersebut berusaha untuk tidak kearab-araban. Sepertinya ia sadar bahwa bahasa itu hanya alat berkomunikasi, sehingga terjemahan dalam bahasa setempat itu mungkin. Betapapun bahasa Indonesia banyak menyerap kata dari bahasa rumpun Semitik ini, bahasa Melayu sejatinya mengandaikan asal-muasal Sanskerta yang kental.




Masuknya bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu tidak bisa dilepaskan dari sejarah kesultanan di alam Nusantara. Hanya, arabisasi berlaku pasang-surut sesuai dengan keadaan politik di negeri khatulistiwa ini. Menariknya, penyerapan lema Arab tidak hanya menyerbu ke dalam bahasa Indonesia, tapi juga ke bahasa daerah, seperti Madura dan Jawa. Kalau tak jeli mencermati, kita hampir tidak mengenal nama-nama Jawa yang berasal dari Arab, seperti Ramelan dari Ramadhan, serta nama-nama Madura, seperti Mamang dari Rahman.

Adakah nama-nama Arab mesti mengandaikan makna semantik yang serba gagah dan filosofis? Nabi hanya meminta kita memberikan nama yang baik untuk anak.

Tentu secara etis baik itu terkait dengan kepantasan dalam budaya masyarakat tertentu. Bayangkan, nama sahabat Nabi, Hurairah, yang berarti kucing, digunakan sebagai nama untuk anak kita dalam bahasa Madura dan Jawa! Ketika sahabat Nabi sering disebut oleh bilal menjelang khotbah Jumat, mungkin jemaah akan terentak apabila disebutkan bahwa hadis yang terkait dengan larangan berbicara di tengah khotbah diriwayatkan oleh binatang yang mengeong.

Tentu bahasa Arab mengandaikan dunia kebahasaan yang luas, yang mencakup daerah-daerah sekitarnya, termasuk Mesir dan Afganistan. Kalau tetangga saya menamai anaknya Sayuti, sejatinya ia mengandaikan nama sarjana muslim terkenal Imam Sayuti, yang merujuk pada nama daerah di Mesir, Asyut. Aneh, buah hati lahir di Madura, tapi anaknya diberi nama salah satu kawasan di Negeri Piramida. Itu berbeda dengan Ahmad, yang mengandaikan nama makna terpuji, sehingga penyandang nama diharapkan menjadi orang yang baik karena melakukan hal-hal terpuji. Boleh jadi penamaan Sayuti merupakan impian si ayah agar anaknya menjadi orang saleh yang bermanfaat bagi orang lain karena buah karyanya dibaca orang ramai.

Hal serupa, nama Danis(h) menunjuk pada orang Denmark. Mungkin karena kedengarannya enak di telinga, nama ini acap diberikan oleh orang tua pada anak. Tentu, mengingat tokoh sarjana muslim tak hanya didominasi oleh orang Arab, tapi juga oleh orang seantero dunia, tak ayal nama Afgan juga digunakan karena dirujuk pada tokoh Pan-Islamisme, Jamaluddin al-Afghani. Sebenarnya Arab sendiri telah mengarabkan banyak kata asing, yang diterima muslim sebagai kearaban. Teman sekelas saya bernama Dahlawi, yang menunjuk pada tokoh sarjana dari India, Al-Kandahlawi, padahal sama sekali tak berdarah negeri Buddha Gautama itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar