Ini pengakuan kawan saya, Abdul Wahab, yang bertempat tinggal di sebuah pulau nun jauh di Selat Malaka sana. Pendakuannya, meskipun harus memerlukan pengamatan lebih lama, saya berpendapat bahwa presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi memiliki kecenderungan menggunakan bahasa dengan idiom cukup mengejutkan, untuk tidak buru-buru mengatakan telah membingungkan—maklum, hal tersebut diungkapkan oleh orang ternama dengan citra selalu positif. Jokowi antara lain menggunakan frasa tradisi baru.
”Kumpulan kata itu telah dua kali digunakan Jokowi dalam tiga bulan terakhir untuk mengatakan suatu subjek yang berbeda. Kedua-duanya disiarkan media massa secara luas tanpa meniliknya dari segi kebahasaan,” demikian Abdul Wahab melalui SMS telepon genggam belum lama ini.
Sebulan yang lalu frasa tersebut digunakan Jokowi untuk menjelaskan tim transisi sebagai wadah untuk menggodok langkah-langkah prioritas pembangunan yang akan diusungnya bersama Jusuf Kalla dalam waktu relatif singkat setelah dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. ”Ini tradisi baru,” kata Jokowi sebagaimana dikutip Kompas.com pada 5 Agustus lalu.
Pada suksesi presiden sebelumnya memang belum pernah diterapkan kebijakan serupa secara konkret meski sifat pekerjaannya bukanlah sesuatu yang asing bagi pelaksanaan sebuah program. Artinya, ketika terpilih sebagai presiden pada 2004 dan 2009, Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, bersama sejumlah orang mungkin juga melakukan hal serupa walaupun tidak melembagakannya dalam apa yang dinamakan tim transisi.
Sebelumnya ungkapan tradisi baru dilontarkan Jokowi saat menyampaikan visi dan misi dalam debat kandidat presiden putaran pertama yang disiarkan sejumlah televisi pada Senin malam, 9 Juni lalu. Jokowi menjelaskan tentang bagaimana sebaiknya demokrasi dan rekrutmen pejabat dilaksanakan, yakni dengan melakukan pendekatan kemampuan selain berprestasi.
Ia sendiri bukanlah ketua umum atau petinggi partai, tetapi dipilih oleh mesin politik tersebut sebagai calon presiden yang tak terjadi sebelumnya dalam peta politik Indonesia. Dalam kaitan ini setidak-tidaknya Jokowi mengungkapkan bahwa di antara kader PDI-P, termasuk Megawati Soekarnoputri sendiri, dia yang dianggap masyarakat lebih mampu menjadi pejabat nomor satu di republik ini sesuai dengan hasil beberapa kali rekam pendapat yang dilakukan lembaga survei.
Terlepas dari latar penyebab timbulnya kumpulan kata itu dari Jokowi, bagi Wahab, frasa tradisi baru dibentuk oleh dua kata asal yang memiliki sifat makna berlawanan, antara tradisi dan baru.
Referensi mana pun akan menunjukkan bahwa suatu tradisi akan berkaitan dengan yang lama, bukan baru. Sesuatu yang baru belum akan menjadi tradisi, tetapi akan diuji oleh waktu melalui sejarah dan kesempatan-kesempatan.
Di antara begitu banyak referensi yang memaknai kata tradisi, paling mudah ditemukan adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Disebutkan dalam kitab itu bahwa tradisi merupakan adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan masyarakat. Selain itu, tradisi merupakan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
Cara PDI-P menentukan calon presiden seperti sekarang belum sampai pada tahap telah ada, tetapi baru ada. Begitu juga keberadaan tim transisi baru dimunculkan sekarang. Baik cara menentukan calon presiden maupun keberadaan tim transisi baru akan menjadi tradisi minimal bila telah dilakukan berkali-kali sebagaimana pesan yang diamanatkan oleh KBBI. Ini harus pula dikaitkan dengan anggapan bahwa cara PDI-P dan rumah transisi itulah dinilai paling benar.
Lebih jelas lagi, tulis Wahab, bukankah PDI-P, misalnya, baru pada pemilihan presiden sekarang yang tidak menempatkan ketua umumnya sebagai calon presiden? Artinya, baru kali ini juga partai tersebut mencalonkan kader partainya yang terbaik untuk menduduki jabatan nomor satu tersebut. Tentu saja kita berharap begitu jugalah yang terjadi pada pemilihan presiden mendatang, tidak hanya tahun 2019, tetapi 2024, dan seterusnya, sehingga apa yang diucapkan Jokowi itu memang menjadi kenyataan bahwa tradisi pencalonan presiden PDI-P memang berdasarkan kemampuan kader.
Cuma saja, membalas SMS Wahab, saya mengatakan bahwa usahlah mempermasalahan frasa tradisi baru Jokowi lebih jauh sebab ia masih bisa diluruskan. Anggap saja bahwa apa yang dilakukan PDI-P terhadap pencalonan seseorang sebagai presiden dan keberadaan rumah transisi akan dijadikan tradisi. Apa susahnya meluruskan soal ini, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar